22 January 2009

Minimnya pengetahuan berinvestasi

Belakangan ini gue makin yakin kalo ternyata pengetahuan orang kita untuk berinvestasi itu jauuuh dari cukup. Bahkan ngerti apa itu investasi aja susah. Yang diempanin dari kecil cuma nabung, nabung dan nabung. Entah nabung di celengan atau di tabungan atau deposito bank, intinya NABUNG. Nggak ada tuh suruhan untuk berinvestasi sejak dini. Padahal nabung doang nggak cukup untuk menghidupi kita di masa tua, karna jumlah uang kita yang ada di tabungan itu akan terus termakan oleh inflasi, berapa lama pun kita mencoba nabung.

Sukur-sukur dikasih bunga yang melebihi nilai inflasi per tahun, tapi biasanya sih untuk ngedapetin bunga yang tinggi itu, simpenan kita di bank tersebut juga harus tinggi pula! Itu kalo nabung di bank. Gimana kalo cuma nabung di celengan ayam?? Wah kebayang, nilai duit kita akan turun terus tuh. Misalnya ketika kita niat nabung untuk membeli sesuatu selama beberapa waktu, begitu duit kita terkumpul eh tuh barang juga udah naik harganya karna adanya inflasi. Sayang kan? Duit kita ngga bisa berkembang mengikuti perubahan jaman, dimana setiap perubahan itu pasti diikuti kebutuhan yang meningkat.

Tapi nggak semua orang sadar akan hal itu. Dan nggak semua orang mendapat pengetahuan tentang hal itu. Lebih parah lagi, meski ketika orang itu memiliki kesempatan mendapatkan pegetahuan tentang bedanya menabung dan berinvestasi, rupanya nggak serta merta membuat orang itu mengubah alur finansialnya demi menuju kebebasan finansial di tahun yang ditargetkan. Nggak tau karna penjelasannya kurang mengena, atau karna bener-bener menganggap nggak penting, sehingga sekian alasan pun dikeluarkan untuk menampik kegiatan berinvestasi, mulai dari “nggak punya duit”, “bukan kelas gue”, dan bla bla bla...

Kalo dari kisah gue pribadi sih, mungkin emang guenya yang kurang persuasif dalam memberikan “pendidikan” investasi ini. Ya scara gue emang bukan orang finance gitu lho,,, tapi tetep aja tuh, segala referensi yang bisa gue ajukan untuk mendukung “gerakan” itu masih kurang kuat untuk memengaruhi orang-orang yang memang (mungkin) belom tergerak hatinya untuk investasi jangka panjang. Bahkan nggak jarang gue ‘dituduh’ sebagai agen reksa dana (reksa dana adalah produk yang gue pelajari pertama kali dalam berinvestasi, red). Padahal itu untuk masa depan dia sendiri lho... Ya akhirnya gue cuma bisa bilang, “terserah lo deh,,,, it’s ur loss”

Gue juga baru belajar berinvestasi kok. Tepatnya, baru mulai di bulan Oktober 2007 lalu. Keranjang investasi pertama gue adalah reksa dana, yang diperkenalkan oleh kakak gue. Dan setelah gue baca-baca informasi seputar reksa dana ini, man gue nyeseeeel banget kenapa gue baru tau mengenai cara-cara berinvestasi pada saat itu; kenapa kemaren-kemaren gue ga pernah denger sama produk investasi jangka panjang ini?!

But at the same time, gue juga thanked God, karna gue pikir ya better late than never lah,, lagipula, umur gue juga masih 26 tahun, jadi belom termasuk kategori umur telat dalam memulai investasi, yah at least nggak telat-telat banget deh,, toh kalo panjang umur, rata-rata umur pensiun kita adalah 55 tahun (tapi kalo gue sih pengennya umur 40 tahun udah ga mau kerja kantoran –bahkan kalo bisa di 35 udah brenti-, mudah-mudahan at that time bisa berbisnis).

Lalu setelah mengenal investasi jangka panjang itu, gue diajarin itung-itungannya sama kakak gue, umur berapa gue mau pensiun dan berapa pengeluaran per bulan yang gue inginkan ketika pensiun. Nah, setelah jawaban-jawaban dari pertanyaan itu digabungkan dengan asumsi pertumbuhan per tahun dari reksa dana yang gue pilih, tadaaaa,,,, keluarlah angka-angka yang akhirnya bisa menunjukkan berapa dana investasi yang harus gue keluarkan per bulannya SEJAK SEKARANG (tentunya udah dengan memperhitungkan rate inflasi per tahun).

Karna gue memulai di saat yang tepat (yang nggak telat-telat banget itu, red), dana yang gue keluarin per bulannya nggak terlalu banyak: cuma Rp.200.000,- yang gue ambil dari gaji tiap bulan. Sayang, baru beberapa bulan jalan, gue memutuskan untuk hengkang dari pekerjaan gue karna beberapa hal, yang otomatis mengakibatkan gue kehilangan pemasukan tetap. Alhasil, “cicilan” investasi gue mandek. But it’s fine. Itu buat jangka panjang toh? Dia akan tetap tumbuh dan berkembang meski nggak di-“top up” lagi. Pertumbuhan reksa dana saham itu, kalo normal, minimal bisa mencapai 25% lho. Bahkan di tahun 2006, ada salah satu manajer investasi yang sukses memberi return pada para investornya sebesar lebih dari 100%. Dua kali lipat dari jumlah pertama kita “nyetor”. Asik nggak tuh. Bandingin sama tabungan dan deposito yang cuma ngasih imbal bunga paling banter 6%. Jauh banget kan???

Tapi jangan salah, kita juga nggak boleh sembarangan milih reksa dana tujuan. Ada berbagai faktor yang harus diperhatikan. Saran singkatnya sih, paling enak lihat saja hasil survey mengenai manajer investasi terbaik, produk reksa dana terbaik, dll. Satu situs yang bisa gue rekomendasikan kalo mau tau ttg reksa dana lebih lanjut: www.portalreksadana.com.

Satu hal yang perlu digarisbawahi banget, bahwa investasi itu berisiko. Tapi tentu kadarnya berbeda-beda, tergantung dari jenis investasi apa yang kita inginkan. Dan bagaimana cara nentuin investasi apa yang mau dijalankan itupun bergantung dari apa tujuan kita. Mengenai ini, satu orang yang paling fasih banget (menurut gue) dalam memilah tujuan investasi (sampe akrab dengan ‘tagline’nya: tujuan lo apa?) adalah Mbak Wina (Ligwina Hananto). Doi adalah independent financial planner. U can check her site, www.tujuanloapa.com, disitu ada banyak pembahasan menarik tentang independent financial planning (mudah2an kalo gue udah kaya gue bisa make jasa beliau deh, hehe).

Nah, sejalan dengan tulisan gue di atas, bahwa investasi berisiko tapi juga bergantung pada tujuan investasi itu sendiri, itulah yang lagi menimpa gue sekarang. Seperti yang udah gue bilang, kalo gue masuk ke reksa dana di bulan Oktober 2007, dimana pertumbuhannya lagi matap-mantapnya (gue beli di harga lagi tinggi), namun ternyata sedikit demi sedikit mulai kolaps ketika memasuki bulan-bulan Juni 2008, dan terus berlanjut sampe akhirnya sekarang kerugian gue mencapai lebih dari 50%. Sedih? Pastinya. Secara itu dana pensiun gue yang gue anggarkan untuk berleha-leha di hari tua. Kebayang kerugian 50% itu sebenernya bisa dipake buat macem-macem. Tapi begitulah krisis global menyusupi kehidupan finansial gue.

Kapok?? Nope!
Kok bisa? Ya bisa,,, karna balik ke tujuan tadi... Tujuan gue adalah jangka panjang. Nggak cuma 2-3 tahun ke depan, tapi pengennya bisa sampe puluhan tahun ke depan. Jadi ya dana gue yang udah tergerus 50% itu still teronggok di account reksa dana gue. Malah, kakak gue yang kemaren merekomendasikan reksa dana (RD) itu, memprovoke gue lagi untuk me-redempt (jual abis) RD gue untuk dipindahkan ke saham langsung, entah nanti gue maunya buy & hold atau di-trading-in. Karna menurutnya, proses pemulihan nilai investasi di saham dengan reksa dana bisa lebih cepat kalo di saham langsung.

Tapi berhubung gue masih belom sempet ada waktu untuk ke bank dan mencairkan account RD tersebut, gue masih blom jadi deh tuh mindahin investasi gue dari 1 keranjang ke keranjang lainnya.

Tapi intinya tetep, blom berubah. Investasi gue untuk jangka panjang. Gue berharap itu bisa buat dana pendidikan anak gue kelak, dan dana pensiun gue. Amiin.

Kesimpulannya, meski sangat tertohok dengan krisis yang terjadi sekarang, investasi itu tetap perlu. Bahkan kalo bisa, jadikan investasi sebagai habit kita, jadi nanti pas punya anak, anak kita bisa diajarkan untuk investasi lebih dini lagi.


No comments:

Post a Comment